Semoga Baik

Saya mengenalnya sebagai Beni Satryo. Ia mendaku nama tengahnya adalah ‘Veritas’, yang ia dapatkan dari jumper hitam berlogo universitas Harvard kebanggaannya. Ia adalah penggemar Iwan Fals garis keras, tampak selalu ia nyanyikan saat sedang tinggi, ha-ha-ha. Kami berlawanan, saya lebih suka Koes Hendratmo. Ia tahu betul membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Gesturnya selalu membuat kawan-kawan tertawa, apalagi eksemplifikasinya tentang sesuatu. Padahal sebaliknya, ia justru, dulu, sering menertawakan pribadinya. Ia adalah orang yang lantang bertanya di sela-sela banyolannya: “Jer, gue lucu, kagak?” Diikuti pertanyaan tambahan, “Jer, hidup gue lucu!”, lalu kalut dan muram. Aneh.

Tapi kini, dia adalah seorang pujangga, mungkin begitu. Seorang pelaku kesusastraan masa kini yang cukup berpengaruh… di domainnya sendiri. Entahlah, saya cukup bangga dengan kawan saya ini. Padahal, pernah ia, atau mungkin sering, patah arang bahkan gelap mata. Sesekali pernah memutuskan untuk berdagang sandal kulit atau peci woles bakal Jumatan. Padahal saat itu ia sudah mantap bekerja sebagai pewarta di ibu kota berbekal pengalamannya sebagai pemimpin umum persma kampus kami BPMF Pijar yang rajin menuliskan puisi atau esai-esai porno yang reflektif. Sekarang ia jauh berbeda, ia merasa sering dihantui penggemar beratnya, kadang (konon) jemawa. Padahal dulu ia merasa kepayahan sampai harus ngamen puisi di Bonbin dan GSP, bermodal spanduk, kertas dan alat tulis, serta pakaian rapi. Semenjak itu saya yakin, berlaku paradoks bisa jadi alternatif kehidupan, untuk hal-hal tertentu saja, macam dia.

Ia pernah memperkenalkan pada saya sebuah laku persuasif, di luar rutinitas melucu dan seni membacotnya. Apa itu? Seni. Seni macam apa? Seni menggenggam gelas dengan kaki. Sebelum ritusnya dimulai, ia selalu bertanya sambil cengengesan, “Jer, kaki elu bisa genggem gelas, kagak?” Untuk itu kami tertawa. Bersama gerombolan pengikutnya, hampir setiap hari, sampai pagi, dan tak terasa sudah akan diwisuda besoknya.

Kebahagiaan itu berlangsung singkat, mungkin sekitar dua tiga tahun lalu di kampus kami yang macam panti jomblo. Sudah berlalu memang, tapi pos ini saya dedikasikan untuk kawan saya yang gemar berucap kotor, karena ia sedang berulang tahun di hari ini. Pernah juga ia berpesan pada kawan-kawan persma kami: jadilah pribadi yang signifikan, lebih lagi: paradoks. Setelah ia bertualang di ibu kota dan bekerja sebagai pewarta kemudian, tentulah saya tidak akan melihat dirinya mengilustrasikan kisah pilu tentang masa depannya yang ia bayangkan sendiri sebagai seorang ‘astronot darat’. Ha-ha-ha.

Selamat ulang tahun, Ben! Veritas!

NB: Maap ye, Ben, tulisan gue kurang seger dan signifikan.

Satu respons untuk “Semoga Baik

Tinggalkan komentar