Catatan tentang Jatuh

Sekitar dua puluh tahunan yang lalu saya selalu jengkel melihat teman-teman yang sudah bisa menggoes sepedanya. Mereka berputar-putar beriringan mengelilingi kompleks. Rasanya asyik sekali bisa berkeliling dengan sepeda sendiri, bisa kebut-kebutan dan bisa berhenti mendadak biar kayak pembalap.

Waktu itu saya baru berumur lima tahun; belum lancar membaca, baru bisa berhitung sampai dua puluh, dan lebih suka berada di dalam rumah sambil mencorat-coret tembok dengan krayon. Saya hanya bisa membayangkan untuk segera memiliki sepeda. Cukup lama juga untuk punya dan bergabung bersama teman-teman pesepeda.

Barulah setelah berulang tahun, saya dibelikan sepeda. Merknya Federal dengan rangka bercat merah. Tidak begitu tinggi sehingga kaki saya masih bisa menapak di tanah kalau fokus dan keseimbangan tiba-tiba terganggu. Saya dapatkan sepeda itu dari Bapak, meskipun saya tidak rajin belajar. Itu adalah sepeda pertama saya yang kini bangkainya masih bisa saya lihat di gudang rumah tetangga.

Untuk bisa menungganginya, saya diajari oleh paman. Setiap sore setelah ia pulang kuliah, ia mengajari saya dengan berlari dan memegangi sadel dari belakang. Selang sehari saya sudah lancar mengayuh pedalnya. Saya rajin mempelajari teknik dasarnya agar keseimbangan tetap terjaga. dan saya diterima untuk bergabung bersama teman-teman sekomplek untuk bermain sepeda bersama.

Tetapi walaupun begitu, untuk bisa mengayuh dengan lancar sampai kebut-kebutan saya perlu merasakan jatuh. Tentang jatuh, saya memang tak banyak mengalaminya. Hanya pernah suatu kali saya harus menabrak tiang listrik. Menerjang gerobak bakso dan kebun tetangga. Dan untunglah saya tidak sampai terserempet seekor bajaj.

Dari berbagai pengalaman dan sedikit pengamatan tersebut kini saya tersadar, betapa jatuh adalah sebuah kewajiban yang harus ditempuh seseorang sebelum ia berhasil. Sementara bangkit galibnya adalah sebatas hak. Jatuh selalu memiliki sebuah cerita sendiri yang sebaiknya jangan dilewatkan. Patut diingat dan dicatat sebagai titik tolak keberhasilannya kelak.

Sejumlah catatan tentang jatuh secara acak terlintas dalam benak saya. Misalnya sebuah meteorit raksasa pernah jatuh ke Bumi dan menghancurkan peradaban Dinosaurus. Adam dan Hawa mungkin lain. Saya tak paham, apakah mereka jatuh ke Bumi, dijatuhkan, atau diusir Tuhan dari Surga? Begitu pula lembaga peradilan negara yang lebih sering menjatuhi hukuman bui bagi para koruptor. Ada juga adagium “sudah jatuh tertimpa tangga”.

Begitu juga Sir Isaac Newton yang mencatat teori gravitasi saat sebuah apel jatuh ketika ia sedang leyeh-leyeh di bawah pohonnya. Kepala Raja Louis XIV dan Marie Antoinette jatuh di depan ribuan pasang mata setelah guilotine memotong leher mereka dalam pemberontakan di Paris abad pertengahan silam. Bom atom pertama dijatuhkan di kota Hiroshima yang menewaskan ratusan ribu orang.

Pembalap Valentino Rossi juga pernah jatuh dari motornya sepanjang kejuaraan MotoGP digelar. Meggy Z(et) pernah menyanyikan lagu “Jatuh Bangun” yang begitu populer hingga kini. Yang miris adalah pesawat Malaysia Airlines MH370 yang jatuh entah dimana dan belum ditemukan hingga sekarang. Sampai yang sehari-hari dan selalu menyita perhatian, misalnya gelas atau piring yang jatuh di tempat umum.

Apapun bentuknya, yang namanya jatuh adalah hal mendasar yang paling ditakuti manusia. Jatuh sedikit banyak telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kehidupan bahwa selalu ada kejatuhan yang harus siap diterimanya. Tepat ketika seseorang sedang berada di puncak yang tengah diraihnya.

Semoga saja sudah ada rencana yang matang untuk mengantisipasi awal jatuh yang datangnya kapan saja. Pasalnya, terdapat dua hal yang paling ditakuti oleh manusia, yaitu jatuh dan mati. Itu nyata.

2 respons untuk ‘Catatan tentang Jatuh

Tinggalkan komentar