Kerupuk

Suatu kali, setelah berjibaku dengan materi perkuliahan otak penuh, namun perut kosong. Kami memutuskan untuk makan dulu sebelum pulang ke kos masing-masing. Saya dan Abdul Hair memilih makan di rumah makan khas Padang yang lebih banyak menawarkan ragam menu masakan khas provinsi rendang tersebut. Kami ke Ganti Namo di daerah padat Karangwuni.

Setibanya, kami menyiduk bercentong-centong nasi. Belum cukup dengan lauk sambal hijau dan rebusan daun pepaya, kami ambil menu andalan kami sendiri. Hair dengan ikan goreng, saya dengan ayam bakar berbumbu santan. Terong juga tak kalah penting. Lalu kami bawa piring kami yang berporsi kuli ke meja, mengambil posisi duduk yang kami inginkan. Tak lama, dua gelas teh dingin datang dan kami mulai menyantapnya.

Setelah beberapa suap, Hair celingak-celinguk. Ia bangkit meninggalkan piringnya dan menuju ke arah kaleng kerupuk. Ia ambil dua keping, saya pun titip untuk diambilkannya, dua keping juga. Jadilah makan ini sebagai sebuah pelampiasan setelah seharian kelaparan dan hanya menutrisi otak dengan banyak pengetahuan.

Kerupuk tadi mulai digasak sekeping. Krauk… krauk…. Seru bunyinya. Dan tiba-tiba saya teringat akan sebuah pembahasan nan konyol bersama seorang kawan di depan kampus kala S1 sebelum menjadi sarjana. Ketika kami tengah gundah; merisaukan beberapa prasyarat yang harus kami penuhi sebelum mendaftar sidang skripsi. Tentang kerupuk.

Panggilannya Beni, itu saja. Orang terkonyol sekampus yang mendaku hidupnya sudah ‘fals’ dan ‘lucu’. Ia sering menertawakan hidupnya yang lucu, bayangkan, hidupnya saja lucu! Kawannya banyak dan hobinya Twitter-an. Ia adalah loyalis Iwan Fals dan seorang yang inisiator, lagi kreatif. Ia adalah salah seorang terlucu sepanjang sejarah fakultas Filsafat UGM berdiri.

Kembali pada tema kerupuk tadi. Saat itu saya masih ingat, kami bertengger di depan sebuah ruangan yang menghadap ke sebuah bangunan; tempat ruang dosen berlokasi. Di sana saat sedang santai menikmati penghujung siang yang tenang, ia nyeletuk soal kerupuk. “Jar, lo pernah sadar nggak, kenapa semua orang suka kerupuk?” tukasnya. Celetukannya itu sudah membuat saya tertawa, karena kami sedang duduk-duduk di undakan tangga, kelaparan, mainan sandal jepit, dan menunggu kepastian nasib sebagai calon sarjana.

Yang menjadi pertanyaan, apa gerangan yang membuatnya memikirkan kerupuk? Kemudian ia banyak menceritakan tentang pengalaman melihat teman-teman masa SMA berebut kerupuk saat makan siang di kantin sekolahnya. Semakin ia membanyol, kami memutuskan untuk cari tempat nongkrong, nasib biarlah nasib. Dan ke Bonbin-lah kita demi seteguk kesegaran teh dingin dan beberapa batang rokok, dan membahasnya sambil makan kerupuk.

Bersambunglah, ke kampus dulu persiapan acara besok Sabtu.

Tinggalkan komentar