Main ‘Cilukba’ yang Non-Arus-Utama

Bapak kos saya tengah berbahagia setahun belakangan ini. Ia kini adalah seorang kakek. Anak semata wayangnya dikaruniai seorang anak, laki-laki. Rambutnya keriting, kulitnya bersih, hidungnya mancung, matanya besar, calon gantenglah. Itulah alasan mengapa bapak kos saya berbahagia. Tapi secara sepihak, cucunya itu bukan teman saya, karena ia (sok) masih kecil dan “rapuh”. Halah.

Juga saya pikir, setelah besar dan tak lagi “rapuh”, cucunya ini bisa menjadi seorang Sound Engineer alias insinyur suara. Apa pasal?

Saban hari pagi-pagi sekali, saya bisa mendengar suara gerbang yang dibuka, tandanya keluarga baru itu akan tiba dengan mobil minibusnya memasuki halaman rumah bapak kos. Kira-kira sekitar jam tujuh, anak kecil itu sudah ada dipelukan sang nenek, sementara ayah ibunya berangkat kerja. Digendong kemana-mana sambil makan. Kadang terlihat sedang menunjuk-nunjuk untuk menakuti cucunya itu agar segera melahap sendok demi sendok. Entah pada cicak, atau burung, atau seliweran kendaraan di jalan, atau kamu! Kok, ada kamu?

Nah, jelang jam delapan pagi usai sarapan, gantianlah pengasuhnya. Adalah sang kakek yang berusia setengah abad, dan kini terlihat bak ‘kanak-kanak’ lagi. Kakeknya, si bapak kos, adalah keriang-gembiraan itu sendiri. Seriang penjaja balon di depan Posyandu, segembira odong-odong. Pada jam itu hingga siang bolong, cucu yang meng-gemesh-kan itu seringkali terlihat lincah berlarian dan bercanda dengan bapak kos saya di dalam rumahnya. Rutinitasnya: bercanda, membopongnya hingga tidur, sampai main lagi.

Ngomong-ngomong, rumah bapak kos berada satu kapling dengan bangunan kos saya. Di dalamnya terdapat ruang-ruang yang kosong, pula ber-void besar. Plafonnya tinggi dan bentang ruangnya cukup untuk memasukkan satu unit truk pasir sedang. Sehingga saya yakin, resonan suara yang dihasilkan cukup membahana di ruang tersebut. Tiap bersuara barang gaduh sedikit, suaranya akan terdengar sampai ke tingkat tiga bangunan kos saya.

Tampaknya aman-aman saja dan tiada masalah berarti dalam tulisan ini. Tapi sebenarnya, yang hendak saya ceritakan adalah permainan ‘Cilukba’—antara bapak kos (sang kakek) dengan cucunya yang lucu—justru terjadi dengan cara yang kurang lazim. Intinya, setiap kakek dan cucu ini bersama di ruang tengah rumahnya itu, sontak akan terdengar suara “bbbaaaaa….” yang menggeru ke penjuru kamar-kamar kos. Berdengung. Cukup memekakkan telinga seorang anak usia balita.

Pada berbagai artikel tentang tumbuh kembang anak di internet menyebutkan bahwa bermain “Cilukba” dengan seorang bayi dapat melatih daya motoriknya. Permainan yang sederhana ini selalu jadi andalan orang tua ketika mengasuh anaknya di usia balita. Para orang tua, entah ayah atau ibunya, boleh jadi yang terlihat berkarakter, sekejap akan langsung terlihat konyol ketika melakukan permainan ini.

Permainannya amatlah mudah. Cukup tampil dihadapan si bayi, tutuplah wajah dengan kedua tangan sambil mengatakan “ciluuukkk…,” baru setelah membuka tangan katakan, “baaaa….” pada anak kecil tadi. Tak perlu ditegaskan pada huruf ‘B’-nya, si bayi pasti mengerti. Diikuti ekspresi yang menyiratkan keriang-gembiraan (begini, kan, lazim). Bayi tadi pasti akan merasakan gejolak dalam jiwanya—bahwa orang yang barusan menghilang dihadapannya telah kembali lagi. Sederhana, bukan? Perlu diingat, kalau bisa, cucilah tangan terlebih dahulu sebelum memulainya. Sekedar memastikan bahwa tangan kita tidak “kotor”.

Pada permainan tersebut, sang bayi seolah akan merasa kehilangan yang cukup berarti. Padahal kita akan tetap berada di hadapannya dengan wajah yang tertutup tangan. Mungkin handuk, atau bantal, atau kamu. Kehadiran yang dirasakan kembali oleh sang bayi itulah yang mereka rekam. Karena laku mereka dengan segera menirukan hal yang dilakukan orang tuanya. Sehingga kerja saraf motoriknya perlahan meningkat seiring waktu yang berjalan.

Tetapi pada kasus bapak kos, permainan ‘Cilukba’ memang berlangsung setiap hari dan menyenangkan. Dengan format yang sama, tetapi dengan penekanan yang berbeda. Biasanya, suara bapak kos yang cukup menggelegar di ruang tengah rumahnya, selalu membangunkan Haji Samidin yang sedang pulas tidur ketika ia belum pindah ke lantai dua. Jarak ruang itu ke kamar Haji Samidin sekitar dua puluh delapan jengkal mungkin. Inilah maksud saya ketika permainan itu berlangsung secara non-arus-utama; artinya tidak dilakukan dengan suara yang lirih atau intonasi yang seperlunya saja demi menghibur si bayi. Pun patokannya adalah keresahan yang didera Haji Samidin yang baru tertidur dua tiga jam saja sebelum permainan itu dimulai.

Kiranya, permainan non-arus-utama ini sudah melekat pada memori sang bayi. Karena entah mengapa, si cucu selalu tertawa dibikinnya. Maka asumsi awal saya di atas belum dapat diverifikasi keabsahannya. Melihat situasi ini, permainan ‘Cilukba’ antara kakek dan cucu itu bisa jadi tidak hanya meningkatkan kapasitas kerja motorik sang bayi saja. Bahkan termasuk juga daya pendengaran yang semakin menajam, juga gerak reflek sang bayi yang kian terasah. Ditambah auman bapak kos yang selalu mengundang pengguna kos mengutarakan umpatan dalam hati.

Dua puluh tahun setelah tumbuh besar nanti, kira-kira, ia bisa menjadi seorang insinyur suara yang handal. Atau penyanyi tenor sekaliber Luciano Pavarotti, Andrea Bocelli. Karena sejak kecilnya ia sudah ditempa dengan bunyi/suara di atas rata-rata frekuensi yang cukup untuk menghibur bayi. Kalau tidak percaya tanyalah Haji Samidin; ia kerap terusik, kalau saya tidak terlalu. Mungkin kelak, si cucu yang bukan kawan saya ini akan terbiasa dengan suara qolbu atau suara hati.

Entah mungkin saya hanya meracau, lagi.

Satu respons untuk “Main ‘Cilukba’ yang Non-Arus-Utama

Tinggalkan komentar