Serius Banget, Bre

Seperti biasa, mari bercanda.

Jujur, sebenarnya saya terpanggil untuk jadi ikutan beropini, secara narsis lebih tepatnya. Benar atau salah secara nalar, urusan belakangan saja. Yang saya tahu, konon, “menulislah dahulu” seperti halnya beberapa mitos-mitos yang bisa dipercayai.

Mulanya, saya mengira, ini adalah sebuah perkara sepele, patut kiranya disepelekan. Tetapi semakin menjadi-jadi ketika begitu banyak yang kecewa mengenai isi sebuah pos, dan beberapa pengulangannya. Kalau dinalar, sejatinya Bulan Blogging KBM dirancang sebagai wadah swadaya pesertanya mengusung tema ‘ego’ (kedirian). Situasi ini adalah senyata-nyatanya tema yang secara fundamental merupakan fondasi paling riil—sekalipun harus ditutup-tutupi dengan mengatakan tidak—dari otoritas si pengelola blog menampilkan pos-posnya. Saya serta merta harus mengamininya, karena ini adalah ‘perlu’.

Self-oriented ini (kira-kira) secara mendasar adalah bentuk pengimplementasian laku diri dalam menampilkan kegemarannya, proses refleksi atas fenomena, kehendak sadar/tidak, serta pengalamannya sampai urusan yang sebetulnya nyaris kurang perlu untuk ditampilkan. Apalagi diketahui lingkungan anda yang setidaknya hanya akan menjadi atraksi baru pergunjingan, tentunya dari belakang. Nyatanya selama pos tersebut (dibuat) positif, penyelenggaraan Bulan Blogging KBM adalah untuk merayakan apa yang Guy Debord bilang tentang ‘masyarakat-pamer’ itu sendiri.

Sementara, berdasarkan pemetaan awam saya, yang jadi silang sengkarut bisa jadi adalah penyalahgunaan istilah/kata tertentu yang dibarengi dengan sikap-sikap ‘tidak-peduli’. Sulit menjelaskan dimana letak kesalahan dalam penggunaan sebuah kata, struktur kalimat yang jelas, hingga paragraf yang enak untuk dibaca. Akan tetapi, kalau saya beropini lebih jauh, perilaku sok moralis sampai pelabelan lainnya akan jatuh bak durian di kebun Haji Samid.

Tapi saya yakin, ini perihal manusiawi. Alasannya? Urusan ego ’kan sudah dibahas dari zaman Descartes hingga sekarang lebih banyak dicibir atau diputarbalikkan keadaannya. Toh apa salahnya bikin pembenaran atau pembelaan dengan berkilah menggunakan adagium tersohor: “anjing-menggonggong-kafilah-berlalu”? Pun bagi saya, ini merupakan sebentuk pledoi bilamana saya harus diinterogasi soal “mengapa begini, mengapa begitu?”. Sebelum harus mulai mendapat kritik yang secara otomatis (belum tentu) membangun. Hehehe.

NB: Pun, pikiran saya tidak serta merta benar. Sekilas, saya menuliskan ini sambil tertawa: tentunya menertawai diri sendiri yang sudah kepepet dan tidak tahu mau menuliskan apalagi, hari dan malam ini. Soal benar dan salah, sepenuhnya saya kembalikan pada cara berpikir masing-masing, karena toh sebenarnya semua harus melewati tahap proses, syukur kalau sudah signifikan. Juga, yang saya tahu sebenarnya saya tidak tahu, apa-apa.

Tinggalkan komentar