Ribet Amat

Pada pos bertemanya kemarin, mbak Gisela menuliskan tentang karcis parkir. Agaknya, regulasi macam itu mengusiknya. Dari tulisan singkat bernada nyinyir itulah saya tertarik untuk membahas tentang karcis parkir yang sering kami terima sebelum akan memarkirkan kendaraan kita di kantong parkir manapun di UGM.

Perangkat keamanan ini bekerja bersama petugas yang berjaga di gardu jaganya. Kalau di SPs UGM, mereka tampak sering melamun atau kedapatan mengobrol saat berjaga. Yang saya yakini, semua dilakukan untuk mengusir jenuh, mengingat pos berukuran sekitar dua meter persegi ini memuat dua orang yang duduk berlawanan arah. Padahal di lain tempat, ukuran gardu jaga ini memiliki dimensi yang lebih besar. Mungkin dalihnya agar lebih ‘manusiavvi’.

Lembaran berdimensi panjang delapan dan lebar tujuh sentimeter ini luasnya adalah 56 sentimeter persegi. Beberapa penanda lain yang tertera pada karcis kuning itu adalah, pertama, kop. Kedua, tulisan “No. Pol” diikuti sebuah kotak memanjang. Ketiga, lima butir pasal. Keempat, sebuah kode yang berisikan huruf dan beberapa angka. Kelima, tanda air (watermark) bertuliskan ‘gratis’.

Ciri lain yang tampak menonjol adalah warna kuningnya. Setidaknya, warna ini berelasi dengan beberapa konvensi yang kita kenali misalnya kartu pada permainan sepak bola dan/atau salah satu lampu pada rangkaian lampu merah. Kedua benda itu mengacu pada petanda ‘peringatan’, selain ‘hati-hati’. Tidakkah demikian dengan warna kuning pada karcis parkir tersebut?

Nah, setelah mengetahui tanda-tanda tersebut, mari kita elaborasikan. Tapi sekali lagi, tentu saja secara  serampangan.

Pada karcis itu, keutuhan karcis dan penanda kedualah yang paling utama. Penanda-penanda lain baiknya mungkin diabaikan. Penanda ketiga misalnya, lima butir yang berisikan ‘aturan main’ itu sungguh amat menjebak. Kalau masih punya, coba baca lagi. Karena setelah sistem ini berusia sekira tujuh tahun, isinya barusan mencengangkan saya. Lima butir ‘aturan main’ yang tulisannya kecil-kecil itu mensyaratkan kita sebagai pemilik kendaraan untuk menjaganya baik-baik, meskipun kita tak berada di kantong parkir tersebut. Padahal ini bisa jadi perkara vital, meskipun kendaraan tak mungkin tertukar, tapi lebih mungkin untuk raib. Situasi inilah yang memicu ‘tangan mendarat di jidat’, sebagaimana dituliskan mas Irfan kemarin.

Kode-kode berupa angka dan huruf pada penanda kelima sama sepelenya dengan penanda lain. Hal  ini tak perlu kita tanyakan pada petugas, kecuali alasan mendesak. Kendati begitu, hal itu pasti ada maksudnya, mungkin berelasi dengan pendataan jumlah pengguna kendaraan bermotor di kota pelajar ini. Tapi bukankah karcis-karcis ini terbuang kemudian?

Kalau dirunut, ketidaksepakatan sejumlah pihak akan regulasi ini berhulu dari gelar kehormatan ‘edukopolis’ pada kampus ini. Gelar kehormatan ini disematkan sebelumnya oleh entah siapa, mungkin raja Namrud atau Darth Vader. Selain itu predikat ‘Universitas Kelas Dunia’, yang dituliskan pula setidaknya oleh mbak Mashita dan mbak Sumayya, bakal salah jalur bila kebijakan macam ini tak pernah ditinjau ulang. Sebaliknya, justru predikat itulah yang hendak dicapai. Belum lagi isu pembabatan pohon untuk menjaga ketersediaan karcis kuning itu sampai entah kapan. Jika demikian, apa salah bila regulasi ini objek nyinyir?

Akan tetapi, bila dilihat dari sisi lain, tugas satuan keamanan lebih besar lagi. Kita toh hanya diminta untuk menjaga keutuhan karcis itu saja. Sedangkan merekalah yang lebih banyak mengawasi meski ‘kecolongan’ bukan mustahil. Regulasi “mevvah” ini adalah sekelumit persoalan yang kiranya bisa diatasi dengan KIK sebelumnya, tapi sama mengganjalnya dengan kartu mahasiswa (KTM) yang kini multifungsi. Atau barangkali stiker lebih solutif. Itu penawaran saya.

Tinggalkan komentar