7 Alasan yang Paling Logis Mengapa Harus ke Taman Langit

Dahulu kala, ada seekor kelinci dan seekor buaya yang hidup di daerah sungai. Mereka berdua sudah mati sekarang. Toh itu hanya ‘dahulu kala’. Sekarang tanpa kehadiran kelinci dan buaya, sebenarnya tujuan saya tiada lain menjabarkan sejumlah alasan yang paling masuk akal mengapa harus bertandang ke Taman Langit.

Sedikit bercerita. Taman Langit sebenarnya adalah sebuah taman yang jauh dari harapan orang ketika membayangkan taman tersebut. Tak ada rimbun rerumputan atau ilalang, bahkan pemandangan yang menyiratkan surga. Tetapi taman itu layaknya Surga Firdaus untuk pemiliknya. Saya rahasiakan nama pemiliknya, yang pasti bukan Abdul Hair. Dan tulisan ini merupakan sebuah agenda pemenuhan janji saya untuk menuliskan Taman Langit yang biasa disingkat sebagai “JS”, oh, bukan, “TL”, sekitar seratus dua puluh sembilan tahun delapan hari yang lalu.

Awalnya, Taman Langit adalah tempat kami bersarang ketika semester awal berkuliah di prodi KBM UGM. Anggotanya saat itu ada beberapa orang saja. Pertama saya—orang yang mengaku paling asyik se-Jawa-Bali, sok tahu, pelupa, brengsek!, pelit namun dungu, tapi rajin menyapu. Ada Haji Samidin—waktu itu ia belum menunaikan ibadah Haji, masih percaya kiamat, karibnya Haji Muhidin, suka ngopi dan kadang donat, dan dulu ia hanya punya satu pohon duren yang luar biasa legitnya. Tak ketinggalan Khamowdie yang aslinya bernama Moddie—calon menantu idaman, jago silat, sering dikira seorang Cina, sayang pada keluarga, jago bal-balan, temannya banyak, dan terlalu jujur.

Pemiliknya tidak lain adalah seorang Pangeran Kesultanan Tolitoli. Ia memilih bungkam ketika ditanyakan hal tersebut. Hobinya banyak; mulai dari tertawa dan menjulurkan lidah, menunjuk-nunjuk, membaca dan menulis apa saja, melakukan misi kemanusiaan di WC pribadinya, termasuk ngopi dan makan yang serba daging secara beradab, mendengarkan JKT48 juga, crot! Ia punya lebih dari ratusan buku novel berbagai genre dan terobsesi menjadi seorang novelis dunia macam Ernst Hemmingway, Bill Cosby, Gabriel Gàrcia Màrquez, atau Jorge Luis Borges.

Di Taman Langit, siang dan malam adalah segalanya. Bukan untuk kami, tetapi untuk Abdul Hair. Ia sering rindu pada TL, padahal hanya melangkahkan kaki sebentar keluar. Di sana kami menghabiskan malam-malam sekitar sebulan pertama. Seiring waktu, di sana, kami sering membicarakan banyak hal. Apa saja, seenaknya dan sekenanya. Karena masih belum punya tempat nongkrong yang jelas, jadilah sekedar ngopi-ngopi di TL. Tiba-tiba sudah dua semester berlalu.


Sudahlah, ini bertele-tele. Saya paparkan 7 (tujuh) alasan yang paling masuk akal mengapa “kita” harus menyambangi Taman Langit itu.

  1. Karena Taman Langit adalah “koentji”

DN Aidit pernah mengatakan, “karena Djawa adalah koentji…”. Meskipun memang tidak berkaitan, tapi percayalah, Taman Langit memberikan sejuta pesona lain yang tak terkira sebelumnya.

  1. Taman Langit merupakan salah satu tempat do’a di kabulkan

…. yang ini saya ngawur. Itu urusan Tuhan, sumpah!

  1. Taman Langit mudah diakses dan pemandangannya bagus

Aksesnya amatlah mudah. Keluar dari kampus SPs, arahkan motor anda menuju utara sebelum bangjo perempatan Jakal. Persis sebelah selatan bengkel Yamaha ada sebuah gang kecil, namun buntu ujungnya. Putar baliklah bila sudah menemui kebuntuan di gang itu, tanyakan pada orang, dimana Taman Langit. Bila perlu!

  1. Taman Langit adalah sarana “transit” para musafir

Saya adalah musafir, begitu juga dengan Haji Samidin, Bulek Fafa, si Mbos yang leh-uga, Khamowdie, dan sejumlah kawan lain yang pernah merasakan indahnya Taman ini. Sensasinya, ya, sama saja, seperti kos pada umumnya. Tapi yang membedakan bahwa Taman Langit dilengkapi dengan akses yang semuanya serba pribadi. Jajal, deh, kalau nggak percaya.

  1. Mengunjungi Taman Langit tidak dipungut biaya, tapi…

BOHONG!

  1. Taman Langit bukanlah Taman #KNKKNK

Siapa yang menyandingkan Taman Langit ini dengan TK (Taman Kanak-Kanak), hah?! Meskipun tidak ada ayunan, perosotan, atau kora-koranya, Taman Langit menyediakan fasilitas untuk bermain sambil belajar. Tenaga ahli sudah dipekerjakan di sini. Tanyakan saja hal apapun di sini, soal kuliah hingga urusan yang berkaitan dengan membikin sebuah negara. Maka, tersesat bersama adalah jawabannya.

  1. Taman Langit adalah Taman Langit per se

Tanyakan soal ini pada Abdul Hair.


Dari pemaparan sejumlah alasan yang (insyaalloh) terlogis seantero UGM raya di atas, Taman Langit merupakan Taman Langit itu sendiri. Tapi buat Abdul Hair saja. Kini kami sudah jarang berkumpul di sana. Kini ada hal-hal yang sedikit banyak, perlu atau tidak, dirindukan untuk menghabiskan waktu lagi bersama di balkonnya yang menghadap ke arah gunung Merapi. Sebagai catatan, sinyal ponsel di sini bagus, kok, apalagi dilengkapi dengan kaca riben hitam sembari mendalami apa yang ‘Fuko’ katakan tentang teori Panopticon-nya. Nanti kapan-kapan, bila ada kesempatan, saya edit pos ini dan masukkan gambarnya, biar terang dan jelas.

Sekali lagi, “karena Taman Langit adalah koentji…”.

5 respons untuk ‘7 Alasan yang Paling Logis Mengapa Harus ke Taman Langit

Tinggalkan komentar