Kepada Semut (Bag. 1)

Tahu apa seekor semut dan koleganya akan mati karena kekenyangan? Mereka hanya hewan-hewan yang diperintahkan penciptanya untuk bekerja dengan cara mereka sendiri. Saya mengenali mereka rata-rata berbadan hitam, pula kecil. Hampir tak sebanding dengan tubuh sebesar gajah, kira-kira seperti saya.

Tapi setidaknya mereka bekerja untuk makan, menghidupi diri mereka sendiri terlebih dahulu. Mereka hidup tanpa memerlukan merk tertentu. Mereka melenggang apa adanya, sederhana sekali. Hidupnya pernah dikisahkan dalam visualitas manis khas Disney dalam A Bugs Life tahun 1997 (kalau tidak salah). Di film tersebut, hidup mereka didramatisir sedemikian rupa agar memenuhi standar kelayakan sebuah film yang berambisi menghibur.

Di film itu, korporasi Disney nyaris berhasil memvisualisasikan nyata hidup koloni semut. Sambil kepayahan pada tubuh kecil mereka, dijinjinglah butir-butir beras hasil panen sebagai persediaan makanan dalam satuan waktu yang mereka tetapkan. Ditumpuk dan dikepul dalam sebuah lumbung layaknya manusia yang bercocok tanam mengumpulkan hasil buminya sebelum diolah.

Pun terdapat berbagai sistem dan ideologi-ideologi yang bekerja diberbagai adegannya. Kiranya bisa dilihat terdapat stratifikasi sosial, binarisme kuat-lemah, organisme kekeluargaan, sampai roman picisan. Tak ketinggalan sisi heroisme dan aspek-aspek patriotik yang tak pernah absen dalam film-film yang lahir di Amerika.

Lain hal dikehidupan nyata. Berulangkali saya selalu mendapati puluhan ekor semut mati sia-sia di sisa-sisa gelas kopi saya. Sebab mereka mati belum diketahui, pihak berwenangpun dengan segera tidak akan mempedulikan hak hidup mereka. Pastinya, mereka hanya mencari sisa-sisa, dan sisa itu adalah sebuah harga mahal bagi nyawa mereka yang dibuang percuma oleh pemiliknya.

Pemiliknya adalah manusia. Berapa banyak orang mendapati kejengkelannya memuncak setelah segelas minuman manisnya dirubung semut? Tentu saja banyak, termasuk kita semua sudah pernah mengalaminya. Dalam hitungan menit saja, barisan mereka sudah rapi menuju ke sebuah arah. Setelah ditelusuri, tak perlu heran, itu adalah sebuah kue cokelat yang enak, segelas kopi manis instan yang menganga tanpa penjagaan; ataupun timbunan gula pasir dalam sebuah wadah yang entah kapan dibutuhkan lagi.

Sadar atau tidak, hewan ini masuk ke dalam kriteria pemarjinalan. Mereka sekilas tidak penting, namun eksis, keberadaannya masuk dalam daftar hewan yang mengancam stabilitas negara. Mengapa? Bung Karno, Mao, Stalin, hingga Nixon pasti akan marah besar bila mendapati meja kerja mereka tidak dihidangkan segelas kopi hanya karena koloni semut menyerang persediaan gula di dapur mereka. Karena konon, dari segelas kopilah negara berdiri.

Sekilas alasan tadi bernada hiperbolis, tetapi tetap saja, kondisi mengancam selalu ada dimanapun kaki berpijak yang menjunjung langit. Termasuk kepada sekumpulan semut, yang kerap menyemuti pikiran dan kaki yang ditekuk beberapa saat ketika sedang bertandang ke WC. Semut seolah menghendaki sistematika kuno pengawasan yang oleh Foucault disebut panopticon.

Mereka mengawasi gerak kita yang terbatas dari jangkauan mereka yang amat luas untuk sebuah bahan pangan. Kecerdikan mereka digunakan untuk memastikan tindakan preventif kita terhadap sebuah bahan pangan yang sudah disimpan dengan baik. Ini cukup menyebalkan.

Mereka dibekali kelihaian merayap dan tahan pada kondisi-kondisi tertentu. Terlebih mereka tak takut mati karena badannya enteng. Ada juga yang bisa terbang. Sekilas, warna hitamnya akan terlihat kontras sekali dengan usaha mereka merayap di tembok, sesekali harus bermusuhan dengan cicak atau serangga lain yang cukup raksasa dan beringas ketimbang mereka. Adaptasi inilah yang membuat mereka tetap hidup, bertahan dari berbagai ancaman yang menyerang kapan saja.

Nyanyian mereka adalah lagu-lagu perjuangan, tanda mereka selalu mengalami kemenangan dan kekalahan yang porsinya seimbang. Semangat mereka adalah kilas balik patriotisme serdadu-serdadu militer yang haus peperangan di sebuah medan. Targetnya berbeda, mereka hanya mengincar kemenangan pada kuasa-kuasa manusia atas produk konsumsinya. Biar bagaimanapun, kekalahan mereka adalah murni naluri hewani mereka yang tak gentar pada geliat racun kapur ajaib, aerosol pembunuh serangga, hingga alat pemukul serangga.

Mereka kerdil, namun semangatnya selalu mengalahkan ketinggian puncak gunung sekalipun. Patutlah saya memberikan apresiasi pada hewan yang kembali menyerang gelas kopi saya lagi pada saat menuliskan kekaguman saya terhadap mereka. Baiklah, ini pengkhianatan, tapi tak apa, itu rejeki kalian, stok kopi saya masih ada serenteng lagi.

Satu respons untuk “Kepada Semut (Bag. 1)

Tinggalkan komentar