Vice Versa!

Kemarin, beberapa waktu lalu itu, nggak lama lah, saya sudah menuliskan tema untuk perpisahan dengan Bulan Blogging KBM UGM dengan judul ‘Lentur’. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah pos paripurna rangkaian ini berupa sebuah Postscriptum berintensi searah dan berakhir dengan sebuah dalih hipokrit lewat sejumlah istilah dalam ranah keilmuan. Berdasarkan sejumlah penelusuran lewat sumber literatur untuk menemukan titik temunya pada bidang keilmuan, maka didapatkan beberapa terminologi seperti pada rekam medis ilmu kedokteran, praksis psikoanalisis model Lacan dan/atau Deleuze, hingga sosiologi mutakhir model Bordieu hanya karena mispersepsi semata. Akhirnya omong kosong dan saya bertambah SOK TAHU!

Sebagai sesama pelajar yang memberlakukan fenomena sebagaimana harus di-su’udzon-kan, bukannya membedah oposisi biner, yang terjadi malah menciptakan binerisme baru yang dikotomis-diametral, pun kompulsif. Biarlah, namanya juga berkelakar. Itu sudah menjadi isu kemarin kalau harus menyebut ‘waktu-itu’ dan menandaskan upaya rekonsiliasi absurd. Dan hari ini, sebagai peserta kegiatan Bulan Blogging KBM UGM, masing-masing peserta diminta untuk melakukan pemungutan suara dengan menyebutkan tiga nama peserta untuk diundi menjadi pemenangnya.

Adapun berdasarkan proposisi subyektif, Ilmi pada tempat ketiga. Alasannya sederhana, dia harus meluangkan waktu dari negeri sarang skandal spionase terhadap rezim SBY terjadi; di negeri tempat Bahasa Indonesia terasa begitu penting dengan sejumlah kilah ideologis; di negeri berkota metropolitan tempat Jorn Utzon memenangkan kontes rancangannya. Sejauh yang saya baca, tulisannya memang sarat emosi, seolah hendak menyelami sisi ambivalensinya di tanah rantauan. Lagipula, beda waktu yang empat jam lebih cepat, di tambah nilai tukar Dollar negeri itu yang tak sebanding, tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengumbar ide-ide brilian pada teman-teman dalam rangkaian kegiatan ini.

Di posisi kedua, saya harus menyebutkan nama Hair dengan beberapa alasan: pertama, ia menuliskan sebuah kisah hiperreal tentang Setyo dan Lia, ini kisah yang berhasil merasuki bawah sadar saya untuk membisu, atau menguncupkan tangan, kadangkala terkesan nyata; kedua, dedikasi penuh dirinya pada bidang kesusastraan begitu mengesankan saya, belum sempat menjadi role model untuk itu, juga pada kegemarannya menonton berbagai macam film dan tak ada keraguan sedikitpun untuk menyebut ‘jelek’ atau ‘bagus’, pun untuk berbagai hal; ketiga, karena kemantapan alasan saya yang pertama dan kedua dirasa merupakan sebuah konsekuensi logis dari upaya menjadi atau tidak-menjadi kanak-kanak kembali, dan didorong oleh semangat luhur yang terinspirasi dari Preambule UUD 1945 pada Amandemen kesekiannya.

Saya menempatkan nama Dimas, panjangnya Probo Pamungkas, pada peringkat pertama atas kesetiannya pada penulisan yang rumit dan kadang membuat mata saya kelelahan. Terlebih menarik untuk (kadang) dilewatkan saja, sebagaimana tulisan-tulisan saya yang begitu saya sepelekan. Sebenarnya saya terkesima atas kegigihannya menuliskan cerita-cerita epos, fiksi, dengan untaian kalimat yang hanya dialah yang mungkin bisa menerjemahkannya sendiri. Ketika saya membacanya, mata saya disuguhkan dengan berbagai penggalan menarik tentang berbagai kalimat majemuk bertumpuk, dramatis, taktis, refleksif, persuasif, kadang pasif pula. Perspektifnya terhitung baru menurut saya. Apalagi kalau bukan karena Dimas selalu meluangkan waktunya di menit-menit terakhir jelang tengah malam untuk menulis. Dedikasi luar biasa ini adalah sebuah ihwal keberhasilannya menyelesaikan sebuah cerita pendek dan sulit untuk dicerna sekalipun sudah minum obat pencahar.

Berdasarkan pertimbangan, pemosisian ini bersifat hierarkhis, mungkin juga hierarkhi metafisis yang segera harus didekonstruksikan berdasarkan anjuran Derrida. Kemenangan adalah sekaligus kekalahan, Vice Versa! Pun saya tujukan pada yang sudah rela membuat saya tertawa sambil mendesis setelah membaca blog-nya dengan membuat rincian waktu diikuti judul khas serta percampuradukkan bahasa dalam kontennya yang membuat saya geleng-geleng kepala keheranan. “Bukan main!”, katanya. Hobinya unik dan sederhana: nyeruput kopi rempah a la Bang Coy. Ia telah menginspirasi saya untuk pensiun menjadi pecundang setelah berhasil dipecundangi agen-struktur yang mendaku paling tahu beberapa terminologi ranah keilmuan di atas tadi, Vice Versa!

Setelah ini, kapok adalah sebuah siasat paling mujarab, karena, konon, orang kapoklah yang sudah mendapatkan pencerahan. Pencerahan di atas segalanya, Vice Versa! Terima kasih Bulan Blogging KBM UGM 2014.

Tinggalkan komentar