Sakau!

Berjauhan dengan media massa rasanya “ngeri-ngeri sedap” kata Sutan Batoegana. Buat saya setelah “beranjak dewasa dan tinggalkan Jakarta demi masa depan cipta”, meninggalkan media yang menyajikan berita seperti surat kabar dan televisi itu seru, tapi kadang juga membuat frekuensi sakau informasi meningkat.

Adapun surat kabar atau koran telah banyak memberikan sumbangsihnya pada pengetahuan saya. Koran yang saya baca semenjak kecil adalah Kompas dengan atas nama langganan Suhartiarti, nenek saya yang namanya repetitif. Beliau lebih banyak membaca Kompas ketimbang koran lainnya, karena menurutnya Kompas lebih terpercaya dan nasional. Alasan yang aneh!

Beliau melarang saya untuk membaca surat kabar lain seperti Pos Kota misalnya. Terutama sekali saya tertarik dengan rubrik halaman muka bagian pojok bawahnya, entah kiri atau kanan. Selalu bisa membuat saya merasa menjadi anak laki-laki seutuhnya. Di Kompas, rubrik yang selalu menjadi pusat perhatian saya adalah Internasional, biasanya di halaman tengah tiras pertama.

Sejak kecil, dengan tengilnya, saya selalu membiasakan diri berlatih membaca rubrik itu terus sampai saya mengerti cara membaca berdasarkan susunan alfabetis. Hingga terpaksa tahu tentang isu di Israel-Palestina, gempa di Kobe tahun 1995, pergolakkan separatis di Chechnya, dan lain sebagainya. Sampai suatu ketika saya membaca kisah tentang kereta peluru Shinkansen, yang kini biasa saja.

Saya jadi tergila-gila dengan rubrik ini, dan rubrik inilah yang terus saya baca tiap kali saya membeli Kompas, sampai sekarang juga begitu. Isu dalam negeri jarang sekali saya baca, karena saya lebih suka melihatnya di televisi. Paling tidak teori Tabula Rasa-nya John Locke harus diakui kesahihannya.

Kompas yang dulu saya tahu punya halaman yang lebih besar dari sekarang. Font-nya lebih kecil ketimbang yang sekarang, begitu juga dengan tampilannya. Seingat saya, Kompas berwajah baru sejak 1 Juni 2004, salah ding, ternyata 27 juni 2005 (Wikipedia). Yang saya ingat di dalamnya ada pembahasan mengenai gedung pencakar langit tertinggi di dunia, Burj Dubai.

Tampilan baru surat kabar harian nasional ini lebih baik dari sebelumnya. Dalam layout-nya yang lebih pop, Kompas hadir dengan lebih memperhatikan navigasi agar mudah untuk dibaca. Edisi pertama perubahan tampilan itu, Kompas masih memberikan pedoman pada para pembacanya yang mungkin kaget dengan tampilan Kompas yang baru. Mungkin Kompas terakhir saya beli adalah sekitar tahun 2013, itupun cuma sekali membeli saja seingat saya pada tahun itu. Terlebih saya lebih sering mengakses berita dan informasi lewat internet dan waktu itu masih ada televisi di kost saya di Gejayan.

Pun sama dengan surat kabar, saya lebih sering menonton Dunia Dalam Berita yang tayang setiap jam sembilan malam di TVRI. Wawasan saya jauh bertambah meluas dan lebih tepatnya sok tahu. Jauh sebelum Dunia Lain menjadi favorit pemirsa teve di rumah tiap malam Jum’at. Wacananya selalu berita tentang luar negeri, kadang bosan juga sih, misalnya tabrakan mobil di sebuah underpass di Paris yang menewaskan Lady Diana dan pacarnya Dodi Al-Fayyed tahun 1997, kalau nggak salah. Atau kalau di kanal swasta nasional, ramai diberitakan meninggalnya penyanyi kondang Nike Ardilla dalam kecelakaan mobil, baju untuk mengenang kejadian itu dipakai Dimas seharian ini. Ada juga peristiwa Mei ’98 di sekitar jembatan Semanggi yang amat tersohor, padahal dentuman senjata api polisinya terdengar sampai ke rumah.

Nah, untuk televisi, saya terakhir menonton televisi yang diakses di kamar pada tahun 2013 juga. Waktu itu teve saya meledug karena petir menyambar-nyambar saat hujan lebat di bulan Desember. Karena penggemar berat ERK seabreg-abreg, ya, apa boleh buat, sejak Desember kelabu itu televisi mangkrak, harga koran juga semakin mahal. Naasnya, ponsel pintar saya ikut lenyap di wese kampus pada jam kuliah setelah melakukan ritus penting berperikemanusiaan. Jadilah saya sakau, sakau informasi berkepanjangan.

Tetapi tak apa, berjauhan dengan media; cetak dan elektronik tak membuat saya patah semangat. Ini derita saya, kalau bisa jangan ikut-ikutan juga. Toh saya lebih: menghindari meracau ketika melihat televisi; mengembik menonton debat capres dan debat-debat lainnya; memamah biak saat nonton FTV; bergumam sesaat setelah membaca koran; atau berdesis saat melihat lazimnya kejanggalan dalam bentuk apapun di ponsel pintar. Bahkan sampai harus tabah memaklumi kondisi generasi ‘dzikir’ zaman sekarang.

Konon, masih banyak jalan menuju Roma. Meskipun ini adalah anggapan prajurit Romawi sotoy yang tersesat diperjalanan pulangnya. Minimal Pram pernah mengatakan dalam Anak Semua Bangsa (cuma ngutip sih), bahwa “kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapapun tentang kenyataan.”

Tinggalkan komentar